Sabtu, 03 Januari 2009

- KENAPA HARUS MENYESAL

Aku sudah bukan perawan sebelum engkau memperkosaku. Dunia yang tak beradab telah mengoyak selaput daraku dalam ranjang jaman yang semakin membusuk. Di mana televisi hanya menyiarkan berita kriminalitas dan film biru bukan lagi hal yang tabu. Seorang artis yang tak begitu dikenal terlibat affair dengan seorang bapak anggota dewan yang terhormat, hingga skandal sex mereka bermunculan di ponsel-ponsel, hingga anak kecil pun bisa menikmatinya.

Padahal dulu, aku benci dengan cerita-cerita seperti itu. Aku lebih menyukai kisah Gibran dan Salma, atau Khais dan Laila, atau Romeo danJuliet? Kisah cinta yang begitu dramatis dan menghujam hati siapapun yang mendengarnya. Cinta tanpa pretensi lain selain kesucian cinta itu sendiri.

Jijik bila mengenangnya, namun akhirnya menjadi biasa saja. Hingga aku betul-betul dengan keikhlasan membiarkanmu menikmati tubuhku, dan orgasme ini sungguh kekal dan nyata. Kita jadi sering melakukannya secara diam-diam. Di bawah purnama yang telanjang, di atas tumpukan sampah yang tak karuan warna dan baunya, bahkan di antara kegelisahan orang pada hidup yang makin cemarut. Aku dan engkau menikmatinya,
menikmati dengan seluruh cinta Adam pada Hawa.
“Suatu saat kita pasti menikah,” begitu bisikmu tiap kali mencumbuku.

Waktu yang terus saja melaju dan kita masih saja setia. Tak seorang pun tahu kisah ini. Kita menatanya begitu rapi dan hati-hati. Sedikit pun tak ada curiga. Di mata mereka, aku adalah gadis yang begitu manis dan tak mungin melakukan dosa, tak ada cela, perfect.

Hari itu kita bertemu, masih sembunyi-sembunyi dan tak seorang pun tahu. Warung kopi dan teh poci yang kelewat manisnya. Aku memandangmu, memandang guratan-guratan kasar di permukaan kulitmu yang kecoklatan. Engkau seorang pekerja keras, bahkan
kutemukan itu pada tiap hela nafasmu, begitu diburu.

“Aku hendak kabarkan sesuatu.”

Seseorang memesan kopi dan duduk pada seberang kursi, engkau masih sehening pagi.
“Adikku Intan akan menikah dengan kekasih yang sudah lama diimpikannnya, namun sesuai tradisi, mereka menungguku.”
Engkau menghela nafas dan membuang pandang ke jalanan, begitu ramai debu dan asap menyatu.

“Apa mungkin aku menikahimu ?”

Tanya itu begitu gamang dan aku menemukanmu begitu bimbang. Sadar, ini tak mudah untukmu, begitu rumitnya kisah ini, namun tak mungkin begitu saja berlalu
meninggalkannya atau memaksakan kebersamaan.
“Sebab, meminangmu tak cukup dengan keberanian saja.”
Begitu deru angin berlalu dan sepasang matamu menjadi kuyu.

“Tak kumiliki sesuatu yang berarti untuk meminangmu. Lantas aku harus apa dan bagaimana ?”
Tanya dengan nada sedikit memaksa itu akhirnya hanya menggantung, sementara jalanan semakin sesak, serupa yang menyesak dalam dadaku juga dadamu.

Pertemuan itu tak menuntaskan tanya dan kemelut yang memenuhi syaraf otakku yang semakin kusut. Aku tak menemukan sinar dimana aku bisa dengan tegak melangkah. Aku justru menimpakan begitu banyak kesulitan pada orang lain. Pada adikku Intan yang tak berdosa, pada Ibu yang polos dan tak mengerti apa-apa, padamu juga, Kekasihku. Bukankah ini juga karena aku? Andai aku tak kembali dan menyulut cintamu, kau tak
mungkin begitu utuh menyerahkan jiwamu. Sedangkan Bapak? Bapak sebenarnya juga tidak salah. Hanya saja, terkadang darah ksatrianya tak mampu menyentuh dada Sudra yang tulus dengan kepapaannya, sekalipun tangan mereka mengusap mesra telapak
kakinya. Tetap akan ada jarak, jarak yang tidak akan pernah dapat di seberangi, serupa ngarai yang dalam dan curam.

Usiaku sudah 27 tahun tak terasa, semalam Bapak mengatakan jika usiaku itu sudah cukup matang untuk membangun sebuah keluarga. Melahirkan dan merawat
anak-anak. Aku diam, tak ada komentar yang pantas aku lontarkan. Bapak begitu berwibawa, aku tak sanggup mengatakan sepatah katapun apa lagi menatap matanya,
bahkan juga tak sanggup menolak saat ia mengatakan rencana perjodohan. Seseorang bernama Bagus, dengan latar belakang dan masa depan yang baik.
“Gadis cerdas tidak akan menolaknya, dan tidak ada yang perlu Bapak cemaskan,” kata-kata Bapak itu begitu keras menghantam jantungku, hingga debarnya semakin tak menentu. Tak ada tawar menawar.

Di sepanjang malam itu aku tak merasakan apapun, bahkan dingin yang menusuk. Aku melangkahkan kaki, begitu bimbang tak menentu arah. Banyak wajah kujumpai, tak
satu pun dengan ekspresi, langit gelap, tak kulihat satu bintang pun dari ribuan yang ada, aku berhenti pada tikungan jalan yang sepi.
Bu, malam ini, Shira bermalam di luar, Ibu tak perlu cemas. Begitu pesan yang aku kirimkan pada Ibu, dan dengan seluruh keyakinan ia tidak akan mencurigaiku.

Tiba-tiba aku ingin menjumpaimu, menjumpai kekasihku yang setia dengan cinta dan harapannya, lantas aku membalikkan langkah sementara hujan mulai turun. Aku
terus berlari menapaki sisa malamku yang keruh dan rindu.

Di pintunya aku mengetuk begitu hati-hati, seolah aku tak ingin seorang pun mendengar kehadiranku selain kekasihku. Wajahnya muncul, seperti yang lalu-lalu,
teduh senyumnya mendekapku.

“ Zul, Bapak akan menikahkan aku dengan seseorang, seseorang dengan harapan dan masa depan yang baik,” perlahan aku menuturkannya. Di antara deras hujan dan
angin yang menghempaskan reranting. Aku tak berani menatap matanya, seperti yang selalu aku lakukan saat berbicara, namun aku tak mendengar apapun, hanya deru
nafasnya yang masih diburu.

“Zul, tidakkah engkau ingin melakukan apapun, saat kekasih yang engkau cintai dan begitu menjaga cintamu akan dinikahkan dengan laki-laki yang berbeda? Tidakkah engkau memegang kuat tangannya dan membawanya pergi sejauh-jauhnya menuju kebahagiaan yang sering kali dibisikkan saat mencumbu?”

Digenggamnya tanganku, matanya yang tajam begitu tenang seolah menentramkan jiwaku yang begitu letih.

“Shira, rebahkan seluruh kecemasan, letih dan kegalauamu itu pada takdir yang akan membawamu. Kau takkan sanggup untuk terus memikulnya, itu seolah olah terlalu dipaksakan. Saat ini aku ingin sekali menangis dan menyalahkan Tuhan. Apa yang sudah aku lakukan selama ini? perjuangan macam apa? Ha…ha… tapi aku yakin, Tuhan pasti hanya akan mengejek dan menertawakanku. Aku telah memikirkannya Sayang, memikirkan segala hal yang mungkin. Shira, Bapakmu benar, ia telah tawarkan matahari dalam genggamannya, selayaknya engkau bahagia dengan keutuhanmu sebagai bakti seorang anak. Melangkahlah dan tak perlu lagi menoleh. Kupikir kenangan ini akan pulang ke dalam albumnya sendiri dan menjadi hal yang tak begitu penting saat engkau melewati kehidupanmu yang berbeda.” Suaranya kudengar menjadi gemuruh dalam deras hujan
dan malam yang pekat, tangannya semakin erat menggenggam, sementara jiwaku luruh menjadi serpihan-serpihan kecemasan yang panjang dan menusuk.

Aku tinggalkan kekasih hati, belahan jiwaku yang teduh. Menyeberangi malam dan derasnya hujan yang jadi begitu murung. Air mata yang tak henti menetes. Aku
tak tahu kemana arah harus melangkah, betul-betul aku merasakan kehilangan, bukan hanya pada keperawanan yang telah aku persembahkan, bahkan bayanganku
sendiri, aku tak lagi mampu temukan.

- MENCINTAIMU DENGAN SEDERHANA(cerita/bajak)

Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.

Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”

Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik napas panjang.

Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.

Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.

Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.

Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar minggu ini.

Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.

”Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaranku lewat Diah.

”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.

Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.

Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku.

Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.

”Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.

Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.

Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu.

Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.

”Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.

Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?

Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?

Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.

Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.

Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’ tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.

Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Lewat kata yang tak sempat disampaikan

Awan kepada air yang menjadikannya tiada

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat diucapkan

Kayu kepada api yang menjadikannya abu. *